Konflik organisasi
berasal dari kata kerja Latin configere yang berarti saling memukul.
Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara
dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak
berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau
membuatnya tidak berdaya.
Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa
individu dalam suatu interaksi. perbedaan-perbedaan tersebut
diantaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat
istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Dengan dibawasertanya
ciri-ciri individual dalam interaksi sosial, konflik merupakan situasi
yang wajar dalam setiap masyarakat dan tidak satu masyarakat pun yang
tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok
masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan
hilangnya masyarakat itu sendiri.
Konflik bertentangan dengan integrasi. Konflik dan Integrasi berjalan
sebagai sebuah siklus di masyarakat. Konflik yang terkontrol akan
menghasilkan integrasi. sebaliknya, integrasi yang tidak sempurna dapat
menciptakan konflik.
Definisi konflik
Ada beberapa pengertian konflik menurut beberapa ahli.
1. Menurut Taquiri dalam Newstorm dan Davis (1977), konflik merupakan
warisan kehidupan sosial yang boleh berlaku dalam berbagai keadaan
akibat daripada berbangkitnya keadaan ketidaksetujuan, kontroversi dan
pertentangan di antara dua pihak atau lebih pihak secara berterusan.
2. Menurut Gibson, et al (1997: 437), hubungan selain dapat menciptakan
kerjasama, hubungan saling tergantung dapat pula melahirkan konflik.
Hal ini terjadi jika masing – masing komponen organisasi memiliki
kepentingan atau tujuan sendiri – sendiri dan tidak bekerja sama satu
sama lain.
3. Menurut Robbin (1996), keberadaan konflik dalam organisasi dalam
organisasi ditentukan oleh persepsi individu atau kelompok. Jika mereka
tidak menyadari adanya konflik di dalam organisasi maka secara umum
konflik tersebut dianggap tidak ada. Sebaliknya, jika mereka
mempersepsikan bahwa di dalam organisasi telah ada konflik maka konflik
tersebut telah menjadi kenyataan.
4. Dipandang sebagai perilaku, konflik merupakan bentuk minteraktif yang
terjadi pada tingkatan individual, interpersonal, kelompok atau pada
tingkatan organisasi (Muchlas, 1999). Konflik ini terutama pada
tingkatan individual yang sangat dekat hubungannya dengan stres.
5. Menurut Minnery (1985), Konflik organisasi merupakan interaksi antara
dua atau lebih pihak yang satu sama lain berhubungan dan saling
tergantung, namun terpisahkan oleh perbedaan tujuan.
6. Konflik dalam organisasi sering terjadi tidak simetris terjadi hanya
satu pihak yang sadar dan memberikan respon terhadap konflik tersebut.
Atau, satu pihak mempersepsikan adanya pihak lain yang telah atau akan
menyerang secara negatif (Robbins, 1993).
7. Konflik merupakan ekspresi pertikaian antara individu dengan individu
lain, kelompok dengan kelompok lain karena beberapa alasan. Dalam
pandangan ini, pertikaian menunjukkan adanya perbedaan antara dua atau
lebih individu yang diekspresikan, diingat, dan dialami (Pace &
Faules, 1994:249).
8. Konflik dapat dirasakan, diketahui, diekspresikan melalui perilaku-perilaku komunikasi (Folger & Poole: 1984).
9. Konflik senantisa berpusat pada beberapa penyebab utama, yakni tujuan
yang ingin dicapai, alokasi sumber – sumber yang dibagikan, keputusan
yang diambil, maupun perilaku setiap pihak yang terlibat
(Myers,1982:234-237; Kreps, 1986:185; Stewart, 1993:341).
10. Interaksi yang disebut komunikasi antara individu yang satu dengan
yang lainnya, tak dapat disangkal akan menimbulkan konflik dalam level
yang berbeda – beda (Devito, 1995:381)
Konflik Menurut Robbin
Robbin (1996: 431) mengatakan konflik dalam organisasi disebut sebagai
The Conflict Paradoks, yaitu pandangan bahwa di sisi konflik dianggap
dapat meningkatkan kinerja kelompok, tetapi di sisi lain kebanyakan
kelompok dan organisasi berusaha untuk meminimalisasikan konflik.
Pandangan ini dibagi menjadi tiga bagian, antara lain:
1. Pandangan tradisional (The Traditional View). Pandangan ini
menyatakan bahwa konflik itu hal yang buruk, sesuatu yang negatif,
merugikan, dan harus dihindari. Konflik disinonimkan dengan istilah
violence, destruction, dan irrationality. Konflik ini merupakan suatu
hasil disfungsional akibat komunikasi yang buruk, kurang kepercayaan,
keterbukaan di antara orang – orang, dan kegagalaan manajer untuk
tanggap terhadap kebutuhan dan aspirasi karyawan.
2. Pandangan hubungan manusia (The Human Relation View. Pandangan ini
menyatakan bahwa konflik dianggap sebagai suatu peristiwa yang wajar
terjadi di dalam kelompok atau organisasi. Konflik dianggap sebagai
sesuatu yang tidak dapat dihindari karena di dalam kelompok atau
organisasi pasti terjadi perbedaan pandangan atau pendapat antar
anggota. Oleh karena itu, konflik harus dijadikan sebagai suatu hal yang
bermanfaat guna mendorong peningkatan kinerja organisasi. Dengan kata
lain, konflik harus dijadikan sebagai motivasi untuk melakukan inovasi
atau perubahan di dalam tubuh kelompok atau organisasi.
3. Pandangan interaksionis (The Interactionist View). Pandangan ini
cenderung mendorong suatu kelompok atau organisasi terjadinya konflik.
Hal ini disebabkan suatu organisasi yang kooperatif, tenang, damai, dan
serasi cenderung menjadi statis, apatis, tidak aspiratif, dan tidak
inovatif. Oleh karena itu, menurut pandangan ini, konflik perlu
dipertahankan pada tingkat minimum secara berkelanjutan sehingga tiap
anggota di dalam kelompok tersebut tetap semangat, kritis – diri, dan
kreatif.
Konflik Menurut Stoner dan Freeman
Stoner dan Freeman(1989:392) membagi pandangan menjadi dua bagian, yaitu
pandangan tradisional (Old view) dan pandangan modern (Current View):
1. Pandangan tradisional. Pandangan tradisional menganggap bahwa konflik
dapat dihindari. Hal ini disebabkan konflik dapat mengacaukan
organisasi dan mencegah pencapaian tujuan yang optimal. Oleh karena itu,
untuk mencapai tujuan yang optimal, konflik harus dihilangkan. Konflik
biasanya disebabkan oleh kesalahan manajer dalam merancang dan
memimpin organisasi. Dikarenakan kesalahan ini, manajer sebagai pihak
manajemen bertugas meminimalisasikan konflik.
2. Pandangan modern. Konflik tidak dapat dihindari. Hal ini disebabkan
banyak faktor, antara lain struktur organisasi, perbedaan tujuan,
persepsi, nilai – nilai, dan sebagainya. Konflik dapat mengurangi
kinerja organisasi dalam berbagai tingkatan. Jika terjadi konflik,
manajer sebagai pihak manajemen bertugas mengelola konflik sehingga
tercipta kinerja yang optimal untuk mencapai tujuan bersama.
Konflik Menurut Myers
Selain pandangan menurut Robbin dan Stoner dan Freeman, konflik dipahami
berdasarkan dua sudut pandang, yaitu: tradisional dan kontemporer
(Myers, 1993:234)
1. Dalam pandangan tradisional, konflik dianggap sebagai sesuatu yang
buruk yang harus dihindari. Pandangan ini sangat menghindari adanya
konflik karena dinilai sebagai faktor penyebab pecahnya suatu kelompok
atau organisasi. Bahkan seringkali konflik dikaitkan dengan kemarahan,
agresivitas, dan pertentangan baik secara fisik maupun dengan kata-kata
kasar. Apabila telah terjadi konflik, pasti akan menimbulkan sikap
emosi dari tiap orang di kelompok atau organisasi itu sehingga akan
menimbulkan konflik yang lebih besar. Oleh karena itu, menurut pandangan
tradisional, konflik haruslah dihindari.
2. Pandangan kontemporer mengenai konflik didasarkan pada anggapan bahwa
konflik merupakan sesuatu yang tidak dapat dielakkan sebagai
konsekuensi logis interaksi manusia. Namun, yang menjadi persoalan
adalah bukan bagaimana meredam konflik, tapi bagaimana menanganinya
secara tepat sehingga tidak merusak hubungan antarpribadi bahkan merusak
tujuan organisasi. Konflik dianggap sebagai suatu hal yang wajar di
dalam organisasi. Konflik bukan dijadikan suatu hal yang destruktif,
melainkan harus dijadikan suatu hal konstruktif untuk membangun
organisasi tersebut, misalnnya bagaimana cara peningkatan kinerja
organisasi.
Konflik Menurut Peneliti Lainnya
1. Konflik terjadi karena adanya interaksi yang disebut komunikasi. Hal
ini dimaksudkan apabila kita ingin mengetahui konflik berarti kita
harus mengetahui kemampuan dan perilaku komunikasi. Semua konflik
mengandung komunikasi, tapi tidak semua konflik berakar pada komunikasi
yang buruk. Menurut Myers, Jika komunikasi adalah suatu proses
transaksi yang berupaya mempertemukan perbedaan individu secara
bersama-sama untuk mencari kesamaan makna, maka dalam proses itu, pasti
ada konflik (1982: 234). Konflik pun tidak hanya diungkapkan secara
verbal tapi juga diungkapkan secara nonverbal seperti dalam bentuk raut
muka, gerak badan, yang mengekspresikan pertentangan (Stewart &
Logan, 1993:341). Konflik tidak selalu diidentifikasikan sebagai
terjadinya saling baku hantam antara dua pihak yang berseteru, tetapi
juga diidentifikasikan sebagai ‘perang dingin’ antara dua pihak karena
tidak diekspresikan langsung melalui kata – kata yang mengandung
amarah.
2. Konflik tidak selamanya berkonotasi buruk, tapi bisa menjadi sumber
pengalaman positif (Stewart & Logan, 1993:342). Hal ini dimaksudkan
bahwa konflik dapat menjadi sarana pembelajaran dalam memanajemen suatu
kelompok atau organisasi. Konflik tidak selamanya membawa dampak
buruk, tetapi juga memberikan pelajaran dan hikmah di balik adanya
perseteruan pihak – pihak yang terkait. Pelajaran itu dapat berupa
bagaimana cara menghindari konflik yang sama supaya tidak terulang
kembali di masa yang akan datang dan bagaimana cara mengatasi konflik
yang sama apabila sewaktu – waktu terjadi kembali.
Teori-teori konflik
Ada tiga teori konflik yang menonjol dalam ilmu sosial. Pertama adalah
teori konflik C. Gerrtz, yaitu tentang primodialisme, kedua adalah teori
konflik Karl. Marx, yaitu tentang pertentangan kelas, dan ketiga
adalah teori konflik James Scott, yaitu tentang Patron Klien.
Faktor penyebab konflik
• Perbedaan individu, yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan.
Setiap manusia adalah individu yang unik. Artinya, setiap orang memiliki
pendirian dan perasaan yang berbeda-beda satu dengan lainnya.
Perbedaan pendirian dan perasaan akan sesuatu hal atau lingkungan yang
nyata ini dapat menjadi faktor penyebab konflik sosial, sebab dalam
menjalani hubungan sosial, seseorang tidak selalu sejalan dengan
kelompoknya. Misalnya, ketika berlangsung pentas musik di lingkungan
pemukiman, tentu perasaan setiap warganya akan berbeda-beda. Ada yang
merasa terganggu karena berisik, tetapi ada pula yang merasa terhibur.
• Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi-pribadi yang berbeda.
Seseorang sedikit banyak akan terpengaruh dengan pola-pola pemikiran dan
pendirian kelompoknya. Pemikiran dan pendirian yang berbeda itu pada
akhirnya akan menghasilkan perbedaan individu yang dapat memicu konflik.
• Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok.
Manusia memiliki perasaan, pendirian maupun latar belakang kebudayaan
yang berbeda. Oleh sebab itu, dalam waktu yang bersamaan, masing-masing
orang atau kelompok memiliki kepentingan yang berbeda-beda.
Kadang-kadang orang dapat melakukan hal yang sama, tetapi untuk tujuan
yang berbeda-beda. Sebagai contoh, misalnya perbedaan kepentingan dalam
hal pemanfaatan hutan. Para tokoh masyarakat menanggap hutan sebagai
kekayaan budaya yang menjadi bagian dari kebudayaan mereka sehingga
harus dijaga dan tidak boleh ditebang. Para petani menbang pohon-pohon
karena dianggap sebagai penghalang bagi mereka untuk membuat kebun atau
ladang. Bagi para pengusaha kayu, pohon-pohon ditebang dan kemudian
kayunya diekspor guna mendapatkan uang dan membuka pekerjaan. Sedangkan
bagi pecinta lingkungan, hutan adalah bagian dari lingkungan sehingga
harus dilestarikan. Di sini jelas terlihat ada perbedaan kepentingan
antara satu kelompok dengan kelompok lainnya sehingga akan mendatangkan
konflik sosial di masyarakat. Konflik akibat perbedaan kepentingan ini
dapat pula menyangkut bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya.
Begitu pula dapat terjadi antar kelompok atau antara kelompok dengan
individu, misalnya konflik antara kelompok buruh dengan pengusaha yang
terjadi karena perbedaan kepentingan di antara keduanya. Para buruh
menginginkan upah yang memadai, sedangkan pengusaha menginginkan
pendapatan yang besar untuk dinikmati sendiri dan memperbesar bidang
serta volume usaha mereka.
• Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat.
Perubahan adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi jika
perubahan itu berlangsung cepat atau bahkan mendadak, perubahan tersebut
dapat memicu terjadinya konflik sosial. Misalnya, pada masyarakat
pedesaan yang mengalami proses industrialisasi yang mendadak akan
memunculkan konflik sosial sebab nilai-nilai lama pada masyarakat
tradisional yang biasanya bercorak pertanian secara cepat berubah
menjadi nilai-nilai masyarakat industri. Nilai-nilai yang berubah itu
seperti nilai kegotongroyongan berganti menjadi nilai kontrak kerja
dengan upah yang disesuaikan menurut jenis pekerjaannya. Hubungan
kekerabatan bergeser menjadi hubungan struktural yang disusun dalam
organisasi formal perusahaan. Nilai-nilai kebersamaan berubah menjadi
individualis dan nilai-nilai tentang pemanfaatan waktu yang cenderung
tidak ketat berubah menjadi pembagian waktu yang tegas seperti jadwal
kerja dan istirahat dalam dunia industri. Perubahan-perubahan ini, jika
terjadi seara cepat atau mendadak, akan membuat kegoncangan
proses-proses sosial di masyarakat, bahkan akan terjadi upaya penolakan
terhadap semua bentuk perubahan karena dianggap mengacaukan tatanan
kehiodupan masyarakat yang telah ada.
Jenis-jenis konflik
Menurut Dahrendorf, konflik dibedakan menjadi 4 macam :
• konflik antara atau dalam peran sosial (intrapribadi), misalnya antara
peranan-peranan dalam keluarga atau profesi (konflik peran (role))
• konflik antara kelompok-kelompok sosial (antar keluarga, antar gank).
• konflik kelompok terorganisir dan tidak terorganisir (polisi melawan massa).
• konflik antar satuan nasional (kampanye, perang saudara)
• konflik antar atau tidak antar agama
• konflik antar politik.
Akibat konflik
Hasil dari sebuah konflik adalah sebagai berikut :
• meningkatkan solidaritas sesama anggota kelompok (ingroup) yang mengalami konflik dengan kelompok lain.
• keretakan hubungan antar kelompok yang bertikai.
• perubahan kepribadian pada individu, misalnya timbulnya rasa dendam, benci, saling curiga dll.
• kerusakan harta benda dan hilangnya jiwa manusia.
• dominasi bahkan penaklukan salah satu pihak yang terlibat dalam konflik.
Para pakar teori telah mengklaim bahwa pihak-pihak yang berkonflik dapat
memghasilkan respon terhadap konflik menurut sebuah skema dua-dimensi;
pengertian terhadap hasil tujuan kita dan pengertian terhadap hasil
tujuan pihak lainnya. Skema ini akan menghasilkan hipotesa sebagai
berikut:
• Pengertian yang tinggi untuk hasil kedua belah pihak akan menghasilkan percobaan untuk mencari jalan keluar yang terbaik.
• Pengertian yang tinggi untuk hasil kita sendiri hanya akan menghasilkan percobaan untuk “memenangkan” konflik.
• Pengertian yang tinggi untuk hasil pihak lain hanya akan menghasilkan
percobaan yang memberikan “kemenangan” konflik bagi pihak tersebut.
• Tiada pengertian untuk kedua belah pihak akan menghasilkan percobaan untuk menghindari konflik.
Contoh konflik
• Konflik Vietnam berubah menjadi perang.
• Konflik Timur Tengah merupakan contoh konflik yang tidak terkontrol,
sehingga timbul kekerasan. hal ini dapat dilihat dalam konflik Israel
dan Palestina.
• Konflik Katolik-Protestan di Irlandia Utara memberikan contoh konflik bersejarah lainnya.
• Banyak konflik yang terjadi karena perbedaan ras dan etnis. Ini
termasuk konflik Bosnia-Kroasia (lihat Kosovo), konflik di Rwanda, dan
konflik di Kazakhstan.
Pemicu konflik
Hanya ada dua posisi seseorang dalam sebuah organisasi, yakni dipimpin
dan memimpin. Baik organisasi berskala mikro (contohnya Yayasan, LSM,
Industri Kecil dan Menengah, dan organisasi kampus) maupun organisasi
berskala makro (contohnya perusahaan-perusahaan besar misalnya Astra,
IBM, Wall-mart), tidak bisa terlepas begitu saja dengan pola sistematik
yang ada di organisasi. Begitu juga halnya dalam Islam. Seorang ulama
adalah pemimpin muslim lainnya dalam koridor Islam sebagai
organisasinya. Organisasi adalah sebuah sistem yang berfungsi sebagai
wadah interaksi antar manusia untuk mencapai tujuan tertentu. Seorang
pemimpin merupakan tonggak ujung yang akan mengarahkan agar tujuan
organisasi tercapai. Pemimpin mempunyai power yang tidak dimiliki oleh
orang yang dipimpin. Power tidak dapat tumbuh begitu saja. Power
merupakan kekuatan untuk mengelola dan mengatur organisasi. Beberapa
ahli berpendapat bahwa kemampuan seseorang dalam memimpin adalah sebuah
kemampuan alami secara genetik, yang tidak bisa diajarkan. Akan tetapi
tidak semua orang berpandangan sama. Kemampuan seseorang untuk menjadi
pemimpin dapat dipelajari baik di lingkungan pendidikan maupun terjun
langsung di lapangan.
Tidak dapat dipungkiri bahwa pemimpin memegang peranan penting dalam
sebuah organisasi. Sebagai contoh, dalam kasus pemilu negara kita tahun
2009, banyak partai baru bermunculan. Image orang terhadap partai baru,
salah satunya tercermin dari siapa pemimpinnya. Orang awam akan
langsung bertanya, ”Siapa sih pemimpin partainya?”. Karena dari situlah
dapat ditebak seperti apa gambaran organisasi tersebut. Segala atribut
yang menempel di pemimpin, seperti umur, jabatan dan bahkan suku
bangsa dapat digeneralisir menjadi atribut organisasi yang dipimpinnya.
Terlepas dari semua hal itu, sebenarnya ada hal yang lebih pokok dari
atribut-atribut tersebut. Karena pada hakekatnya, secara tidak langsung
seorang pemimpin organisasi akan membawa visi pribadinya menjadi
bagian dari visi organisasi. Alangkah naifnya jika ternyata seorang
pemimpin baru yang ditunjuk, mempunyai visi pribadi yang kurang sinergi
dengan visi organisasi dan secara perlahan-lahan mengotori visi
organisasi. Hal ini bukan hal yang baru di dalam sebuah organisasi.
Sudah banyak contohnya di kehidupan politik bangsa ini. Konflik
internal di beberapa partai politik merupakan dampak dari permasalahan
itu. Kepemimpinan dalam sebuah organisasi sangat erat kaitannya dengan
visi organisasi. Seorang pemimpin akan menggunakan ilmu pengetahuan
yang dimiliki untuk mencapai visi organisasi. Akan tetapi ada hal lain
yang bisa digunakan dalam menjalankan kepemimpinan, yakni pengalaman.
Pemimpin besar bagi umat muslim yang patut dijadikan panutan dalam
semua aspek kehidupan adalah Baginda Rasulullah SAW.
Proses seseorang dalam menjalankan kepemimpinanya di organisasi
tidak akan berjalan dengan linier. Rumus matematik saja sejatinya belum
cukup untuk memodelkan pola kepemimpinan dan daur hidup organisasi.
Banyak permasalahan-permasalahan internal yang oleh sebagian besar
organisasi tidak dapat diungkapkan sebagai permasalahan organisasi.
Beberapa ahli organisasi dan konsultan menyebutnya sebagai organisasi
yang sakit. Keengganan pemimpin untuk mengakui dan mengungkap
permasalahan internal organisasi bisa menjadi efek bola salju. Memang
tidak dapat dipungkiri bahwa semua organisasi mempunyai permasalahan
internal. Dan proses penyelesaiaan secara benar bukan satu-satunya
indikator berhasil tidaknya organisasi dalam mencapai visi dan
tujuannya. Yang lebih utama adalah hasil atau output. Indikator tersebut
merupakan indikator yang paling valid dari indikator-indikator lain
untuk mengukur tercapainya visi dan tujuan organisasi. Misalnya ketika
terjadi permasalahan internal di sebuah lembaga pendidikan.
Solusi-solusi akan datang silih berganti dan tumpang-tindih untuk
mencoba menengahi dan menyelesaikannya. Namun, yang perlu diperhatikan
justru sejauh mana hasil atau output lembaga pendidikan tersebut dalam
hal kualitas. Karena bisa saja yang terjadi dengan adanya permasalahan
internal atau konflik itu, dapat menjadikan pelajaran yang berharga bagi
pengelola lembaga pendidikan dan memicu produktivitas. Hal ini sesuai
dengan penjelasan di atas bahwa siklus organisasi sejatinya tidak ada
yang linier, akan tetapi penuh dengan kondisi probabilistik.
Konflik organisasi secara umum ada dua macam. Pertama konflik
eksternal, yakni bekaitan dengan hubungan organisasi dan lingkunganya.
Kedua adalah konflik internal, yakni permasalahan-permasalahan yang
terjadi di dalam organisasi. Beberapa ahli organisasi berpendapat bahwa
konflik internal meliputi konflik yang terjadi di dalam diri individu,
konflik antar individu yang dipimpin, konflik antara individu yang
dipimpin dan organisasi, konflik antara pemimpin dan yang dipimpin,
serta konflik antara pemimpin dengan organisasi (Winardi, 2007). Porsi
terbesar yang dapat memicu potensi rapuhnya organisasi adalah konflik
yang melibatkan pimpinan di dalamnya. Ini adalah sesuatu yang lumrah
mengingat pemimpin adalah tonggak ujung organisasi. Pemimpin yang
mempunyai tanggung jawab menjaga keluwesan organisasi dalam menghadapi
konflik. Pandangan ahli organisasi pada zaman dulu menganggap bahwa
konflik adalah ancaman yang mengandung resiko. Namun seiring dengan
perkembangan zaman dan ilmu pengetahuan, manajemen konflik menjadi
wacana baru. Salah satu contoh riil berkaitan dengan konflik internal
adalah konflik antar golongan yang menimpa umat muslim akhir-akhir ini.
Terlepas dari semua perbedaan pendapat dan perdebatan dalam menghadapi
masalah itu, seolah-olah justru visi islam yang diturunkan Allah SWT
sebagai Rahmatallil’alamin terbiaskan. Sehingga alangkah baiknya jika
merujuk kembali ke Al Qur’an surat Asy Syura ayat 38 yang menyebutkan
bahwa permasalahan antar manusia diselesaikan dengan permusyawaratan.
Meski tidak semua hal dapat diselesaikan dengan cara musyarwarah. Allah
SWT juga berfirman untuk mendamaikan semua pihak yang bertikai jika
terjadi konflik (Al Hujurat ayat 9). Langkah serupa juga selayaknya
diterapkan di semua organisasi agar jalan tengah konflik dapat dicapai.
Konflik merupakan dampak dari kepentingan, baik kepentingan individu
yang dipimpin maupun pemimpin. Disadari atau tidak, ketika bergabung
dalam sebuah organisasi, setiap individu mempunyai kepentingan tertentu
yang ingin dicapai pada saat bergabung dengan organisasi. Disamping
bahwa ada kepentingan organisasi, yakni visi, yang harus sejalan dan
selaras dengan pemikiran individu yang bergabung dengan organisasi.
Kepentingan merupakan salah satu faktor dominan yang menjadi akar pemicu
konflik. Misalnya dalam sebuah organisasi kampus, setiap individu yang
bergabung mempunyai angan-angan tertentu yang ingin diraihnya. Dan
ketika angan-angan dan harapan tersebut perlahan-lahan hilang, maka
individu yang bersangkutan akan surut semangatnya di organisasi itu.
Konflik juga bersinggungan dengan peran. Peran yang dijalani setiap
individu (baik pemimpin maupun yang dipimpin) bisa saja bertentangan
dengan keinginan pribadi yang bersangkutan.
Seperti halnya manusia hidup di dunia juga mempunyai kepentingan. Setiap
muslim wajib mencari kebahagian di dunia maupun di akhirat. Seorang
muslim yang hanya mengejar dunia, maka belum tentu kehidupan akhirat
akan bahagia. Namun, jika mengejar akhirat sebagai tujuan akhir, maka
insya Allah, kehidupan dunia akan tercukupi. Jika dianalogikan dalam
kehidupan berorganisasi, kepentingan individu di dalam organisasi
diumpamakan sebagai kepentingan mengejar kehidupan dunia. Sedangkan
kepentingan memperoleh kehidupan akhirat yang baik, diibaratkan seperti
pencapaian visi organisasi. Apabila kepentingan untuk meraih pencapaian
visi organisasi diutamakan dan tetap dijunjung tinggi, maka
kepentingan individu juga akan ikut terlaksana. Manusia sebagai entitas
individu memang tidak bisa lepas dari atribut-atribut yang menempel di
setiap individu. Manusia mempunyai cipta, rasa dan karsa dalam
menjalankan berbagai aktivitas apapun. Demikian juga ketika manusia
berinteraksi dalam sebuah organisasi. Kepentingan-kepentingan individu
tidak bisa dipungkiri akan terbawa pada saat setiap individu
berinteraksi. Emosi dan hati manusia ketika berinteraksi dalam sebuah
organisasi akan selalu menghiasi. Namun perlu disadari juga bahwa hati
manusia mudah berubah, sebagaimana Allah yang membolak-balikkan hati
manusia. Sehingga alangkah indahnya jika setiap individu bisa menata
hatinya dengan memanaje qalbunya, sebagaimana Aa’Gym sering mengulas
dalam setiap wejangannya. Karena pada hakekatnya interaksi manusia
dalam organisasi tidak akan pernah bisa lepas dari hakekat manusia yang
mempunyai emosi dan hati.
Pengertian
Robbins (1996) dalam “Organization Behavior” menjelaskan bahwa konflik adalah
suatu proses interaksi yang terjadi akibat adanya ketidaksesuaian antara dua
pendapat (sudut pandang) yang berpengaruh atas pihak-pihak yang terlibat baik
pengaruh positif maupun pengaruh negatif.
Sedang menurut Luthans (1981) konflik adalah kondisi yang ditimbulkan oleh
adanya kekuatan yang saling bertentengan. Kekuatan-kekuatan ini bersumber pada
keinginan manusia. Istilah konflik sendiri diterjemahkan dalam beberapa istilah yaitu
perbedaan pendapat, persaingan dan permusuhan.
Perbedaan pendapat tidak selalu berarti perbedaan keinginan. Oleh karena konflik
bersumber pada keinginan, maka perbedaan pendapat tidak selalu berarti konflik.
Persaingan sangat erat hubungannya denga konflik karena dalam persaingan
beberapa pihak menginginkan hal yang sama tetapi hanya satu yang mungkin
mendapatkannya. Persaingan tidak sama dengan konflik namun mudah menjurus ke
aarah konflik, terutuma bila ada persaingan yang menggunakan cara-cara yang
bertentengan dengan aturan yang disepakati. Permusuhan bukanlah konflik karena
orang yang terlibat konflik bisa saja tidak memiliki rasa permusuhan. Sebaliknya
orang yang saling bermusuhan bisa saja tidak berada dalam keadaan konflik.
Konflik sendiri tidak selalu harus dihindari karena tidak selalu negatif akibatnya.
Berbagai konflik yang ringan dan dapat dikendalikan (dikenal dan ditanggulangi)
dapat berakibat positif bagi mereka yang terlibat maupun bagi organisasi.
Jenis-jenis Konflik
Menurut James A.F. Stoner dan Charles Wankel dikenal ada lima jenis konflik yaitu
konflik intrapersonal, konflik interpersonal, konflik antar individu dan kelompok,
konflik antar kelompok dan konflik antar organisasi.
Konflik Intrapersonal
Konflik intrapersonal adalah konflikseseorang dengan dirinya sendiri. Konflik terjadi
bila pada waktu yang sama seseorang memiliki dua keinginan yang tidak mungkin
dipenuhi sekaligus.
Sebagaimana diketahui bahwa dalam diri seseorang itu biasanya terdapat hal-hal
sebagai berikut:
1. Sejumlah kebutuhan-kebutuhan dan peranan-peranan yang bersaing
2. Beraneka macam cara yang berbeda yang mendorong peranan-peranan dan
kebutuhan-kebutuhan itu terlahirkan.
3. Banyaknya bentuk halangan-halangan yang bisa terjadi di antara dorongan dan
tujuan.
4. Terdapatnya baik aspek yang positif maupun negatif yang menghalangi tujuantujuan
yang diinginkan.
Hal-hal di atas dalam proses adaptasi seseorang terhadap lingkungannya acapkali
menimbulkan konflik. Kalau konflik dibiarkan maka akan menimbulkan keadaan yang
tidak menyenangkan.
Ada tiga macam bentuk konflik intrapersonal yaitu :
1. Konflik pendekatan-pendekatan, contohnya orang yang dihadapkan pada dua
pilihan yang sama-sama menarik.
2. Konflik pendekatan – penghindaran, contohnya orang yang dihadapkan pada dua
pilihan yang sama menyulitkan.
3. Konflik penghindaran-penghindaran, contohnya orang yang dihadapkan pada
satu hal yang mempunyai nilai positif dan negatif sekaligus.
Konflik Interpersonal
Konflik Interpersonal adalah pertentangan antar seseorang dengan orang lain karena
pertentengan kepentingan atau keinginan. Hal ini sering terjadi antara dua orang
yang berbeda status, jabatan, bidang kerja dan lain-lain.
Konflik interpersonal ini merupakan suatu dinamika yang amat penting dalam
perilaku organisasi. Karena konflik semacam ini akan melibatkan beberapa peranan
dari beberapa anggota organisasi yang tidak bisa tidak akan mempngaruhi proses
pencapaian tujuan organisasi tersebut.
Konflik antar individu-individu dan kelompok-kelompok
Hal ini seringkali berhubungan dengan cara individu menghadapi tekanan-tekanan
untuk mencapai konformitas, yang ditekankan kepada mereka oleh kelompok kerja
mereka.
Sebagai contoh dapat dikatakan bahwa seseorang individu dapat dihukum oleh
kelompok kerjanya karena ia tidak dapat mencapai norma-norma produktivitas
kelompok dimana ia berada.
Konflik antara kelompok dalam organisasi yang sama
Konflik ini merupakan tipe konflik yang banyak terjadi di dalam organisasiorganisasi.
Konflik antar lini dan staf, pekerja dan pekerja – manajemen merupakan
dua macam bidang konflik antar kelompok.
Konflik antara organisasi
Contoh seperti di bidang ekonomi dimana Amerika Serikat dan negara-negara lain
dianggap sebagai bentuk konflik, dan konflik ini biasanya disebut dengan
persaingan.Konflik ini berdasarkan pengalaman ternyata telah menyebabkan
timbulnya pengembangan produk-produk baru, teknologi baru dan servis baru, harga
lebih rendah dan pemanfaatan sumber daya secara lebih efisien.
Peranan Konflik
Ada berbagai pandangan mengenai konflik dalam organisasi. Pandangan tradisional
mengatakan bahwa konflik hanyalah merupakan gejala abnormal yang mempunyai
akibat-akibat negatif sehingga perlu dilenyapkan. Pendapat tradisional ini dapat
diuraikan sebagai berikut :
- Konflik hanya merugikan organisasi, karena itu harus dihindarkan dan ditiadakan.
- Konflik ditimbulka karena perbedaan kepribadian dan karena kegagalan dalam
kepemimpinan.
- Konflik diselesaikan melalui pemisahan fisik atau dengan intervensi manajemen
tingkat yang lebih tinggi.
Sedangkan pandangan yang lebih maju menganggap bahwa konflik dapat berakibat
baik maupun buruk. Usaha penanganannya harus berupaya untuk menarik hal-hal
yang baik dan mengurangi hal-hal yang buruk. Pandangan ini dapat diuraikan
sebagai berikut :
- Konflik adalah suatu akibat yang tidak dapat dihindarkan dari interaksi
organisasional dan dapat diatasi dengan mengenali sumber-sumber konflik.
- Konflik pada umumnya adalah hasil dari kemajemukan sistem organisasi
- Konflik diselesaikan dengan cara pengenalan sebab dan pemecahan masalah.
Konflik dapat merupakan kekuatan untuk pengubahan positif di dalam suatu
organisasi.
Dalam padangan modern ini konflik sebenarnya dapat memberikan manfaat yang
banyak bagi organisasi. Sebagai contoh pengembangan konflik yang positif dapat
digunakan sebagai ajang adu pendapat, sehingga organisasi bisa memperoleh
pendapat-pendapat yang sudah tersaring.
Seorang pimpinan suatu organisasi pernah menerapkan apa yang disebutnya dengan
“mitra tinju” Pada saat ada suatu kebijakan yang hendak diterapkannya di organisasi
yang dipimpinnya ia mencoba untuk mencari “mitra yang beroposisi dengannya”.
Kadang konflik pun terjadi. Apakah itu menjadi persoalan bagi dirinya ?
“Bagi saya hal itu menjadi hal yang positif, karena saya dapat melihat
kebijakan yang dibuat tersebut dari sisi lain. Saya dapat mengidentifikasi
kemungkinan kelemahan yang ada dari situ. Selama kita masih bisa
mentolerir dan dapat mengendalikan konflik tersebut ke arah yang baik, hal
itu tidak menjadi masalah”, ujarnya.
Hal ini sejalan dengan pendapat yang ditulis oleh Robbins (1996) yang membahas
konflik dari segi human relations and interactionist perspective. Dijelaskan bahwa
konflik itu adalah hal yang alamiah dan selalu akan terjadi. Konflik merupakan
bagian dari pengalaman hubungan antar pribadi (interpersonal experience)
Karena itu bisa dihindari maka sebaiknya konflik dikelola dengan efektif, sehingga
dapat bermanfaat dan dapat menciptakan perbedaan serta pembaharuan ke arah
yang lebih baik dalam organisasi.
Kesimpulannya konflik tidak selalu merugikan organisasi selama bisa ditangani
dengan baik sehingga dapat :
- mengarah ke inovasi dan perubahan
- memberi tenaga kepada orang bertindak
- menyumbangkan perlindungan untuk hal-hal dalam organisasi
- merupakan unsur penting dalam analisis sistem organisasi
Faktor-faktor yang mempengaruhi Konflik
Dapat dikelompokkan ke dalam dua kelompok besar yaitu faktor intern dan faktor
ekstern. Dalam faktor intern dapat disebutkan beberapa hal :
1. Kemantapan organisasi
Organisasi yang telah mantap lebih mampu menyesuaikan diri sehingga tidak mudah
terlibat konflik dan mampu menyelesaikannya. Analoginya dalah seseorang yang
matang mempunyai pandangan hidup luas, mengenal dan menghargai perbedaan
nilai dan lain-lain.
2. Sistem nilai
Sistem nilai suatu organisasi ialah sekumpulan batasan yang meliputi landasan
maksud dan cara berinteraksi suatu organisasi, apakah sesuatu itu baik, buruk, salah
atau benar.
3. Tujuan
Tujuan suatu organisasi dapat menjadi dasar tingkah laku organisasi itu serta para
anggotanya.
4. Sistem lain dalam organisasi
Seperti sistem komunikasi, sistem kepemimpinan, sistem pengambilan keputusan,
sisitem imbalan dan lain-lain. Dlam hal sistem komunikasi misalnya ternyata
persepsi dan penyampaian pesan bukanlah soal yang mudah.
Sedangkan faktor ekstern meliputi :
1. Keterbatasan sumber daya
Kelangkaan suatu hal yang dapat menumbuhkan persaingan dan seterusnya dapat
berakhir menjadi konflik.
2. Kekaburan aturan/norma di masyarakat
Hal ini memperbesar peluang perbedaan persepsi dan pola bertindak.
3. Derajat ketergantungan dengan pihak lain
Semakin tergantung satu pihak dengan pihak lain semakin mudah konflik terjadi.
4. Pola interaksi dengan pihak lain
Pola yang bebas memudahkan pemamparan dengan nilai-nilai ain sedangkan pola
tertutup menimbulkan sikap kabur dan kesulitan penyesuaian diri.
Penanganan Konflik
Untuk menangani konflik dengan efektif, kita harus mengetahui kemampuan diri
sendiri dan juga pihak-pihak yang mempunyai konflik. Ada beberapa cara untuk
menangani konflik antara lain :
1. Introspeksi diri
Bagaiman kita biasanya menghadapi konflik ? Gaya pa yang biasanya digunakan?
Apa saja yang menjadi dasar dan persepsi kita. Hal ini penting untuk dilakukan
sehingga kita dapat mengukur kekuatan kita.
2. Mengevaluasi pihak-pihak yang terlibat.
Sangat penting bagi kita untuk mengetahui pihak-pihak yang terlibat. Kita dapat
mengidentifikasi kepentingan apa saja yang mereka miliki, bagaimana nilai dan
sikap mereka atas konflik tersebut dan apa perasaan mereka atas terjadinya
konflik. Kesempatan kita untuk sukses dalam menangani konflik semakin besar
jika kita meliha konflik yang terjadi dari semua sudut pandang.
3. Identifikasi sumber konflik
Seperti dituliskan di atas, konflik tidak muncul begitu saja. Sumber konflik
sebaiknya dapat teridentifikasi sehingga sasaran penanganannya lebih terarah
kepada sebab konflik.
4. Mengetahui pilihan penyelesaian atau penanganan konflik yang ada dan memilih
yang tepat.
Spiegel (1994) menjelaskan ada lima tindakan yang dapat kita lakukan dalam
penanganan konflik :
a. Berkompetisi
Tindakan ini dilakukan jika kita mencoba memaksakan kepentingan sendiri di
atas kepentingan pihak lain. Pilihan tindakan ini bisa sukses dilakukan jika
situasi saat itu membutuhkan keputusan yang cepat, kepentingan salah satu
pihak lebih utama dan pilihan kita sangat vital. Hanya perlu diperhatikan
situasi menang – kalah (win-win solution) akan terjadi disini. Pihak yang
kalah akan merasa dirugikan dan dapat menjadi konflik yang
berkepanjangan. Tindakan ini bisa dilakukan dalam hubungan atasan –
bawahan, dimana atasan menempatkan kepentingannya (kepentingan
organisasi) di atas kepentingan bawahan.
b. Menghindari konflik
Tindakan ini dilakukan jika salah satu pihak menghindari dari situsasi
tersebut secara fisik ataupun psikologis. Sifat tindakan ini hanyalah
menunda konflik yang terjadi. Situasi menag kalah terjadi lagi disini.
Menghindari konflik bisa dilakukan jika masing-masing pihak mencoba untuk
mendinginkan suasana, mebekukan konflik untuk sementara. Dampak kurang
baik bisa terjadi jika pada saat yang kurang tepat konflik meletus kembali,
ditambah lagi jika salah satu pihak menjadi stres karena merasa masih
memiliki hutang menyelesaikan persoalan tersebut.
c. Akomodasi
Yaitu jika kita mengalah dan mengorbankan beberapa kepentingan sendiri
agar pihak lain mendapat keuntungan dari situasi konflik itu. Disebut juga
sebagai self sacrifying behaviour. Hal ini dilakukan jika kita merasa bahwa
kepentingan pihak lain lebih utama atau kita ingin tetap menjaga hubungan
baik dengan pihak tersebut.
Pertimbangan antara kepentingan pribadi dan hubungan baik menjadi hal
yang utama di sini.
d. Kompromi
indakan ini dapat dilakukan jika ke dua belah pihak merasa bahwa kedua hal
tersebut sama –sama penting dan hubungan baik menjadi yang uatama.
Masing-masing pihak akan mengorbankan sebagian kepentingannya untuk
mendapatkan situasi menang-menang (win-win solution)
e. Berkolaborasi
Menciptakan situasi menang-menag dengan saling bekerja sama.
Pilihan tindakan ada pada diri kita sendiri dengan konsekuensi dari masing-masing
tindakan. Jika terjadi konflik pada lingkungan kerja, kepentingan dan hubungan
antar pribadi menjadai hal yang harus kita pertimbangkan.
kesimpulan
Kemampuan menangani konflik tentang terutama yang menduduki jabatan
pimpinan. Yang terpenting adalah mengembangkan pengetahuan yang cukup dan
sikap yang positif terhadap konflik, karena peran konflik yang tidak selalu negatif
terhadap organisasi.
Dengan pengembalian yang cukup senang, pimpinan dapat cepat mengenal,
mengidentifikasi dan mengukur besarnya konflik serta akibatnya dengan sikap positif
dan kemampuan kepemimpianannya, seorang pimpinan akan dapat mengendalikan
konflik yang akan selalu ada, dan bila mungkin menggunakannya untuk keterbukaan
organisasi dan anggota organisasi yang dipimpinnya. Tentu manfaatnya pun dapat
dirasakan oleh dirinya sendiri.
Referensi:
http://id.wikipedia.org/wiki/Konflik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar